Kamis, April 2, 2009
JAKARTA APBI-ICMA : Kalangan pengusaha batubara yang tergabung dalam Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menggugat UU nomor 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
Mereka keberatan atas pasal 2 ayat 1 UU tersebut yang berisi kendaraan bermotor yang bergerak di jalan darat dan menggunakan mesin terkena pajak kendaran bermotor.
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Supriatna Suhala, aturan tersebut tidak adil karena alat-alat berat yang digunakan untuk operasional pertambangan juga termasuk sebagai kendaraan yang kena pajak.
"Kalau begitu kan traktor yang digunakan petani harusnya kena pajak juga," katanya ketika dihubungi detikFinance, Kamis (2/4/2009).
Menurutnya, tak adil jika alat berat seperti buldozer disamakan dengan alat transportasi yang berkeliaran di jalan raya dan dikenakan pajak yang sama. Padahal, buldozer dan alat berat lain tidak diperkenankan masuk ke jalan raya.
"Buldozer itu kan bukan alat transportasi tapi alat angkut. Kalau orang bayar pajak mobil itu kan menggunakan jalan umum, tapi kalau buldozer saya kan nggak boleh masuk jalan raya," katanya.
Dengan kondisi ini seperti inilah, Supriatna menilai pengusaha pertambangan sudah dirugikan. Karena meskipun sudah membayar kewajiban pajak kendaraan bermotor, namun alat beratnya tetap tidak bisa masuk ke jalan raya.
"Kami menilai ini bertentangan dengan UU karena kami bayar kewajiban tapi dapat hak yang berbeda," tegasnya.
Menurut Supriatna, besaran pajak yang diberlakukan bisa berbeda di setiap propinsi karena ini merupakan peraturan daerah. Propinsi yang saat ini sudah menerapkan adalah Kalimantan Timur.
"UU pajak daerah ini menggantikan UU nomor 18 tahun 1999. Di UU nomor 18 itu alat berat tidak masuk kategori ini," katanya.
Ia menjelaskan, sebenarnya ada 12 asosiasi yang keberatan atas aturan tersebut, namun cuma APBI yang mengajukannya judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
"Kita minta itu di-review, diterima atau tidak yang penting usaha. Karena kami lihat ada kejanggalan disitu," katanya.
Kejanggalan yang dimaksud Supriatna ini sudah dirasakan sejak lama, yaitu sejak UU dan peraturan pemerintah (PP) nomor 65 tahun 2001 yang terkait diterbitkan. Namun karena pembicaraan dengan pemerintah memakan waktu lama, maka batas pengajuan review PP yang hanya 180 hari jadi kadarluarsa.
"Sebetulnya sudah usaha bicara dengan pemerintah, tapi pemerintah kalau sudah ada UU-nya dan PP-nya (no 65/2001), katanya tinggal dilaksanakan saja. Sebenarnya kami mau review PP-nya ke MA tapi sudah kadaluarsa, PP kan kalau mau di-review tidak boleh lebih dari 180 hari. Kalau UU bisa kapan pun," oleh Supriatna Suhala.
Sumber : detikcom, Jakarta 02 April 2009
Posted by : Ichwan Fuadi
No comments:
Post a Comment