Kata Pegawai Pajak: “Wakil Rakyat yang Terhormat, Please Deh Ah”
“Apabila suara-suara kalian hanya menggembosi dan menghambat perubahan ke arah yang lebih baik, maka diamnya kalian adalah sedekah bagi kami untuk melanjutkan reformasi ini”
Mendengar, melihat dan membaca berbagai pendapat para wakil rakyat yang terhormat, sang suara rakyat, saya betul-betul miris. Kok bisa sih ada komentar-komentar yang mencerminkan “kekosongan” dari kata-kata sebagian wakil rakyat tersebut.
Saya percaya, masih banyak wakil rakyat yang cerdas dan memiliki idealisme yang kuat dan benar-benar tulus ikhlas bekerja untuk rakyat. Karena tulus dan ikhlas saja tidak cukup, harus ada ilmu yang mendasarinya. Tanpanya, ketulusan dan keikhlasan tak ada gunanya, hanya bermanfaat bagi dirinya dan sekian orang saja. Apalagi, sudah ga tulus dan ikhlas, hanya sekedar mencari popularitas, tidak cerdas pula! Apa jadinya dengan negara ini?
Saya ingin menanggapi berbagai omongan dari sekian wakil rakyat tersebut yang terkesan “lucu”, kok bisa beberapa komentar dan “saran” tersebut keluar dari anggota dewan yang terhormat.
Satu, tentang “ancaman” dari DPR untuk mengganti peran dirjen pajak sementara dengan tenaga outsourcing.
Please deh ah, masak bapak yang satu ini ga bisa berpikir jauh ke depan sih. Apa dengan keputusan yang revolusioner ini akan ad perubahan yang signifikan. Begini lho maksud dengan “berpikir ke depan”:
Sekedar informasi, ada 33.000an pegawai pajak yang sudah senior maupun baru yang bekerja di DJP. Dari sekian tersebut, kebanyakan pegawai baru berasal dari STAN.
Okey, untuk yang mudahnya kita masuki tentang bagaimana pendidikan pegawai baru. Yang sudah senior kita abaikan dulu. Yang sudah senior insyaAlloh sudah paham tentang pajak. Lha wong sekian tahun kerjanya urusan ama pajak kok, masak pada ga tau tentang pajak.
Okey, pegawai yang baru kebanyakan berasal dari STAN, dari lulusan D1, D3 dan D4. Untuk di tahun 2008 hingga sekarang, sudah tidak ada penerimaan dari D1 lagi. Jadi yang mayoritas adalah penerimaan dari D3 dan D4.
Meski “hanya” diploma, lulusan STAN tersaring amat ketat, rasio penyimpangan sangat jarang terjadi. Dari 88.000an pendaftar hanya diterima sekitar 1800an sampai dengan 2400an mahasiswa.
Tidak ada kolusi, korupsi dan nepotisme di penerimaan STAN. Anak jendral ato menteri kalau emang ga mampu lulus ujian saringan masuk, yaaa tetep aja nggak bisa kuliah di sini. Kuliah sangat ketat, namun tidak ada semi militerisme seperti di IPDN. Peraturan yang ada menyebutkan bahwa SEKALI mahasiswa ketahuan mencontek, langsung kena DO. Pulang kampung.
Kok malah jadi kek narsis… Okey yah. Yang di sini cuman contoh buat nge-gampangin pertanyaan-pertanyaan di bawah. No offense yah buat yang merasa bukan lulusan STAN yang ga dimasukin dalam contoh.
Okey, pertanyaannya adalah:
“Bagaimana DPR memenuhi tenaga-tenaga baru tersebut (dengan kualitas yang sama dengan STAN) dari kalangan outsourcing?”
“Bagaimana pelatihannya, mengingat dari tenaga di atas memerlukan waktu 3 sampai 5 tahun masa pendidikan di kampus STAN” (Harus paham dan tahu tentang “sedikit” ilmu keuangan, “sedikit” akuntansi dan tentunya “sedikit” tahu tentang pajak lhooo..)
dan yang paling krusial: “BAGAIMANA MEKANISME KONTROL TENTANG KERAHASIAAN NEGARA DI TENAGA OUTSOURCING?”
Ibaratnya saya juga mengajukan usul: “BAGAIMANA KALAU DPR DIGANTI DENGAN TENAGA OUTSOURCING SAJA?”
Lantas berbagai argumen yang mungkin bapak keluarkan beberapa akan sama dengan alasan yang saya kemukakan di atas.
Please deh ah pak, itu hanya sekilas lho. Masih banyak hal-hal yang lebih rumit yang jauh terpikirkan oleh pegawai rendahan seperti saya lho. Belum yang dipikirkan tenaga ahli kami yang dari lulusan S2 dan S3 dari luar negeri lho.
Kedua, DPR memaksa tingkatkan kepatuhan pembayaran pajak.
Wahai rakyat Indonesia, jika tarif pajak naik, tolong, jangan salahkan kami. Kami hanya mengikuti wakil-wakil rakyat yang anda pilih. Mereka memaksa kami. Bukan maksud kami untuk memaksa, namun wakil-wakil yang anda pilihlah yang memaksa anda melalui tangan kami.
Rumit pakdhe kalau tentang berbagai kebijakan fiskal dan moneter. Ga cuman asal bunyi langsung bisa terlaksana. Ada ilmu dan berbagai pertimbangan yang harus dipenuhi dalam menentukan kebijakan fiskal.
Ah, yang ini saya ga terlalu ngerti. Ilmu saya masih cetek. Takut salah ngomong ah… eh takut salah tulis ding… mending baca tulisan ini yah kalau pengen mengerti tentang salah satu kebijakan fiskal.
Tiga, reformasi birokrasi yang belum berhasil.
He he he… saya ndak mau ah komen soal ini. Soalnya kebanyakan pembaca sudah bisa menebak khan apa maksud saya nulis pernyataan ke 3 ini.
Ini buktinya dari DJP…
Lha dari DPR atau DPRD?????
Ibarat gajah di seberang lautan nampak, kuman di pelupuk mata tak nampak… Btw, kebalik ga peribahasanya?
Empat, “Pemungutan pajak mending ga langsung, buat menimalisir persinggungan WP dan petugas pajak” (–> sumber Tipi On, ga ada rekam jejak internetnya, lupa pula nama anggota dewan yang terhormatnya siapa)
Pertanyaannya: “Om, sampeyan kemane aja selama ini? Udah pernah bayar pajak belum?”
Keknya ketahuan deh jawabannya apa. Lha bayar pajak itu khan di kantor pos atau di bank. Ga ada pemungutan lewat kantor pajak, apalagi lewat pegawai pajak. Kalaupun ada yang lewat pegawai pajak, nah itu baru ada penyimpangan. Perlu disidik tuh siapa oknumnya.
Lima, usul yang puaaaaliiiing keren dan sangat-sangat-sangat cerdas!!!!! Pegawe pajak perlu sumpah pocong cuy!!!
Terus terang…. Saya ketawa dulu yah…. Sekaligus buat penutup di tulisan ini…..
qeqeqeqeqeqeqeqeqeqe….
Hanung Teguh Martanto
Account Representative Sie Pengawasan dan Konsultasi 3 KPP Pratama Banda Aceh
sumber
hahahaha,
bisa aja Mas Hanung...
tapi boleh juga tuh kalo DPR pake out source,
jadi kita tender-kan biar gajinya bisa ditekan sekecil mungkin!
No comments:
Post a Comment