Saturday, January 23, 2010

Wayang (part 1): Semar Sang Bathara Ismaya



Dewasa ini gak tau kenapa gw jadi tergila-gila sama cerita wayang padhal waktu kecil sama sekali tertarik pun bokap sering cerita tentang wayang dengan pengetahuannya yang ala kadarnya. Bagus juga si, berati tandanya gw lebih Njawani sebagai manusia yang diciptakan Sang Pencipta dan dititipkan di Tanah Jawa dengan segala budayanya yang mendidik gw selama sembilan belas taon sebelom gw menjalani pengembaraan ke tanah seberang di Sumatera ini. Wayang sebagai produk budaya asli Jawa yang diadopsi dari cerita dalam kitab-kitab Hindu India yang kemudian berakulturasi dengan sentuhan Islam setelah diejawantahkan sbagai pertunjukan Wayang Kulit oleh salah seorang tokoh Wali Sanga, Sunan Kalijaga, menurut gw ceritanya tuh punya pesona tersendiri yang nilai sastra serta filosofisnya begitu eksotis buat diikuti.

Sekarang tokoh pewayangan yang pingin gw bahas adalah Semar, kenapa? Gak tau ya tapi menurut gw tokoh ini paling unik dan penuh dualisme. Semar berkepala Laki-laki tapi punya payudara dan pantat layaknya wanita, mulutnya selalu tersenyum tapi matanya meneteskan air mata, rambutnya yang kuncung kayak anak kecil tapi putih penuh uban, badannya berdiri tapi juga jongkok. Kalo yang gw pahami dari semua cerita yang pernah gw baca di buku-buku karya Pak Pitoyo Amrih konon Semar itu tokoh yang abadi, gak pernah mati dan selalu ada buat momong peradaban manusia biar setiap lelakunya selalu sejalan dengan petunjuk Yang Maha Kuasa.

Semar dalam karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan Resi Manumanasa, terutama para Pandawa yang merupakan tokoh utama kisah Mahabharata. Namun dalam pementasan wayang yang bertemakan Ramayana, para dalang juga biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh keluarga Sri Rama ataupun Sugriwa. Seolah-olah Semar selalu muncul dalam setiap pementasan wayang, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan.

Dalam pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria, sedangkan Togog sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat mengalahkan anak asuh Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah – yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar – mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya pasti menjadi nagara yang unggul dan sentosa.
sumber

....
bumi gonjang-ganjing
langit kelap-kelap...
Semar, ngeja wantah!!!


Kurang lebih kayak gitu yang pernah gw denger dari Ki Manteb di TV dulu waktu gw masi SD. Tokoh Semar adalah perlambangan kebijaksanaan di cerita pewanyangan, tokoh yang selalu "momong" para raja dan ksatria sehingga bisa menempuh jalan hidup yang luhur. pertanyaan gw selama ini adalah "sapa dan kapan Semar dilahirkan?" karena di cerita Ramayana dan Mahabharata asli ga disebutkan adanya tokoh Semar, yang ada cuma Bathara Ismaya. Semar cuma ada di cerita pewayangan Jawa yang memang diidentikan/merujuk kepada seorang Dewa bernama Bathara Ismaya. Dulu gw pikir Semar cuma figur bikinan Kanjeng Gusti Sunan Kalijaga (pencipta wayang kulit) tapi pas liat di Wikipedia kok ada relief Semar di Candi Sukuh yang dibangun pada era ahir Majapahit? Terus tadi gw coba browsing dan ada penjelasan tentang pertanyaan gw di forumnya Kapan Lagi, threat-nya: sejak kapan semar muncul dlm budaya jawa? dan berikut penjelasannya...

Munculnya nama Semar

Nama Semar dikenal sejak jaman Prabu Syailendra yang merupakan raja dari kerajaan Jenggala. Munculnya legenda semar ini diawali dengan kisah dimana konon saat prabu syailendra berusia muda beliau sering sekali menerima wejangan2 yang didapat melalui proses supranatural atau yang dikenal dengan ‘wangsit’. Sebagai seorang raja pada masanya memang hal ini biasa dilakukan, wangsit yang didapat itu mengatas namakan “aku adalah semar” yang dengan bijaksana memberikan solusi atau sumbang saran atas permasalahan yang didapat, akan tetapi wujudnya tidak pernah nampak sehingga sang prabu ingin sekali melihat wujud Semar apa dan bagaimana bentuknya. Sebab wejangan yang diberikan selalu saja terbukti hal ini memperkuat keinginan sang prabu agar Semar maujud dan dapat duduk berdampingan sebagai penasehat Raja.

Akan tetapi hal ini tidak pernah menjadi kenyataan hingga sang prabu mangkat Semar tidak pernah maujud.

Dengan mangkatnya Prabu Syaelendra maka terjadi perebutan tahta kerajaan dengan ditandai timbulnya pemberontakan dimana-mana. Anehnya pada pemberontakan itu Semar dijadikan semboyan untuk menyatakan kesetiaan pada sang Prabu bahwa kendati beliau sudah mangkat mereka tetap akan menjaga keutuhan istana yang kini hanya tinggal petilasan di lereng gunung Dieng tepat di desa Punjul yang kerap ditemukan fosil-fosil dan tembikar yang terbuat dari perunggu

Hari, bulan dan tahun berganti Kerajaan Syaelendra terkubur ditelan alam dan nama Prabu Syaelendra tetap terukir dalam sejarah. Namun yang terjadi pada para ahli waris dan keturunannya semua terbius oleh keserakahan dan ambisi untuk menjadi pimpinan. Karena itulah tumbuh kerajaaan-kerajaan kecil bagai jamur dimusuhi hujan. Tetapi tetap semar dijadikan sebagai Dewa pelindung di tanah jawa yang pada saat itu menganut agama Hindu dan Budha. Meskipun Semar bukanlah Dewa !!.

Dari hasil pemujaan pada tempat-tempat yang dianggap suci maka disitulah mereka mengolah jiwanya untuk mendapatkan kekuatan dalam penyatuan alam sehingga mendapatkan wangsit bagaimana untuk mengarungi perjalanan hidup. Akan tetapi tidak semua mampu menganalisa wangsit tersebut sehingga akhirnya mereka menggunakan ritual yang tidak ada pada wangsit yang mengakibatkan munculnya ilmu-ilmu keturunan di tanah jawa, salah satunya adalah ilmu kebatinan.

Lain halnya bagi mereka yang mampu menganalisa wangsit yang diterima maka mereka dapat mengolah jiwanya sehingga timbul rasa percaya diri sebagai sumber kekuatan yang luar biasa. Dialah cikal bakal yang mampu menghalau musuh sehingga mampu menghalau musuhnya dengan meluluhkan hatinya dan musuh tunduk mengikuti perintah mereka. Mereka terus menganggap Semar sebagai pengayom sedangkan Semar tetap belum maujud namun sugesti yang dirasakan membuat nama Semar mengalir ke rongga tubuh hingga memancarkan suatu charisma.
sumber


satu relief Semar di Candi Sukuh yang merupakan candi era ahir Majapahit.

sedangkan di artikel lain Semar juga dijelaskan sebagai berikut...

ucapan mbah semar setiap kali mau mengawali dialog :

"mbergegeg, ugeg-ugeg, hmel-hmel, sak dulito, langgeng…"

(diam, bergerak/berusaha, makan, walaupun sedikit, abadi)

maksudnya daripada diam (mbergegeg) lebih baik berusaha untuk lepas (ugeg-ugeg) dan mencari makan (hmel-hmel) walaupun hasilnya sedikit (sak ndulit) tapi akan terasa abadi (langgeng).

sebuah pesan agar kita selalu bekerja keras untuk mencari nafkah walaupun hasilnya hanya cukup untuk makan namun kepuasan yg didapat krn berusaha tsb akan abadi.
Punakawan dan syi’ar islam

Semar, nama tokoh ini berasal dari bahasa arab Ismar. Dalam lidah jawa kata Is- biasanya dibaca Se-. Contohnya seperti Istambul menjadi Setambul. Ismar berarti paku. Tokoh ini dijadikan pengokoh (paku) terhadap semua kebenaran yang ada atau sebagai advicer dalam mencari kebenaran terhadap segala masalah. Agama adalah pengokoh/pedoman hidup manusia. Semar dengan demikian juga adalah simbolisasi dari agama sebagai prinsip hidup setiap umat beragama.

Batara Semar

MAYA adalah sebuah cahaya hitam. Cahaya hitam tersebut untuk menyamarkan segala sesuatu.

Yang ada itu sesungguhnya tidak ada.

Yang sesungguhnya ada, ternyata bukan.

Yang bukan dikira iya.

Yang wanter (bersemangat) hatinya, hilang kewanterane (semangatnya), sebab takut kalau keliru.

Maya, atau Ismaya, cahaya hitam, juga disebut SEMAR artinya tersamar, atau tidak jelas.

Di dalam cerita pewayangan, Semar adalah putra Sang Hyang Wisesa, ia diberi anugerah mustika manik astagina, yang mempunyai 8 daya, yaitu:

tidak pernah lapar

tidak pernah mengantuk

tidak pernah jatuh cinta

tidak pernah bersedih

tidak pernah merasa capek

tidak pernah menderita sakit

tidak pernah kepanasan

tidak pernah kedinginan

kedelapan daya tersebut diikat pada rambut yang ada di ubun-ubun atau kuncung. Semar atau Ismaya, diberi beberapa gelar yaitu; Batara Semar, Batara Ismaya, Batara Iswara, Batara Samara, Sanghyang Jagad Wungku, Sanghyang Jatiwasesa, Sanghyang Suryakanta. Ia diperintahkan untuk menguasai alam Sunyaruri, atau alam kosong, tidak diperkenankan menguasi manusia di alam dunia.

Di alam Sunyaruri, Batara Semar dijodohkan dengan Dewi Sanggani putri dari Sanghyang Hening. Dari hasil perkawinan mereka, lahirlah sepuluh anak, yaitu: Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan, Batara Siwah, Batara Wrahaspati, Batara Yamadipati, Batara Surya, Batara Candra, Batara Kwera, Batara Tamburu, Batara Kamajaya dan Dewi Sarmanasiti. Anak sulung yang bernama Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan mempunyai anak cebol, ipel-ipel dan berkulit hitam. Anak tersebut diberi nama Semarasanta dan diperintahkan turun di dunia, tinggal di padepokan Pujangkara. Semarasanta ditugaskan mengabdi kepada Resi Kanumanasa di Pertapaan Saptaarga.

Dikisahkan Munculnya Semarasanta di Pertapaan Saptaarga, diawali ketika Semarasanta dikejar oleh dua harimau, ia lari sampai ke Saptaarga dan ditolong oleh Resi Kanumanasa. Ke dua Harimau tersebut diruwat oleh Sang Resi dan ke duanya berubah menjadi bidadari yang cantik jelita. Yang tua bernama Dewi Kanestren dan yang muda bernama Dewi Retnawati. Dewi Kanestren diperistri oleh Semarasanta dan Dewi Retnawati menjadi istri Resi Kanumanasa. Mulai saat itu Semarasanta mengabdi di Saptaarga dan diberi sebutan Janggan Semarsanta.

Sebagai Pamong atau abdi, Janggan Semarasanta sangat setia kepada Bendara (tuan)nya. Ia selalu menganjurkan untuk menjalani laku prihatin dengan berpantang, berdoa, mengurangi tidur dan bertapa, agar mencapai kemuliaan. Banyak saran dan petuah hidup yang mengarah pada keutamaan dibisikan oleh tokoh ini. Sehingga hanya para Resi, Pendeta atau pun Ksatria yang kuat menjalani laku prihatin, mempunyai semangat pantang menyerah, rendah hati dan berperilaku mulia, yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta. Dapat dikatakan bahwa Janggan Semarasanta merupakan rahmat yang tersembunyi. Siapa pun juga yang diikutinya, hidupnya akan mencapai puncak kesuksesan yang membawa kebahagiaqan abadi lahir batin. Dalam catatan kisah pewayangan, ada tujuh orang yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta, yaitu; Resi Manumanasa sampai enam keturunannya, Sakri, Sekutrem, Palasara, Abiyasa, Pandudewanata dan sampai Arjuna.

Jika sedang marah kepada para Dewa, Janggan Semarasanta katitisan oleh eyangnya yaitu Batara Semar. Jika dilihat secara fisik, Semarasanta adalah seorang manusia cebol jelek dan hitam, namun sesungguhnya yang ada dibalik itu ia adalah pribadi dewa yang bernama Batara Semar atau Batara Ismaya.

Karena Batara Semar tidak diperbolehkan menguasai langsung alam dunia, maka ia memakai wadag Janggan Semarasanta sebagai media manitis (tinggal dan menyatu), sehingga akhirnya nama Semarasanta jarang disebut, ia lebih dikenal dengan nama Semar.

Seperti telah ditulis di atas, Semar atau Ismaya adalah penggambaran sesuatau yang tidak jelas tersamar.

Yang ada itu adalah Semarasanta, tetapi sesungguhnya Semarasanta tidak ada.

Yang sesungguhnya ada adalah Batara Semar, namun ia bukan Batara Semar, ia adalah manusia berbadan cebol, berkulit hitam yang bernama Semarasanta.

Memang benar, ia adalah Semarasanta, tetapi yang diperbuat bukan semata-mata perbuatan Semarasanta.

Jika sangat yakin bahwa ia Semarasanta, tiba-tiba berubah keyakinan bahwa ia adalah Batara Semar, dan akhirnya tidak yakin, karena takut keliru. Itulah sesuatu yang belum jelas, masih diSAMARkan, yang digambarkan pada seorang tokoh Semar.

SEMAR adalah sebuah misteri, rahasia Sang Pencipta. Rahasia tersebut akan disembunyikan kepada orang-orang yang egois, tamak, iri dengki, congkak dan tinggi hati, namun dibuka bagi orang-orang yang sabar, tulus, luhur budi dan rendah hati. Dan orang yang di anugerahi Sang Rahasia, atau SEMAR, hidupnya akan berhasil ke puncak kebahagiaan dan kemuliaan nan abadi.

Semar dan Wahyu

Di dalam tulisan sebelumnya yang berjudul “Batara Semar,” telah dipaparkan bahwa Batara Semar atau Batara Ismaya, yang hidup di alam Sunyaruri, sering turun ke dunia dan manitis di dalam diri Janggan Semarasanta, seorang abdi dari Pertapaan Saptaarga. Mengingat bahwa bersatunya antara Batara Ismaya dan Janggan Semarasanta yang kemudian populer dengan nama Semar merupakan penyelenggaraan Illahi, maka munculnya tokoh Semar diterjemahkan sebagai kehadiran Sang Illahi dalam kehidupan nyata dengan cara yang tersamar, penuh misteri.

Dari bentuknya saja, tokoh ini tidak mudah diterka. Wajahnya adalah wajah laki-laki. Namun badannya serba bulat, payudara montok, seperti layaknya wanita. Rambut putih dan kerut wajahnya menunjukan bahwa ia telah berusia lanjut, namun rambutnya dipotong kuncung seperti anak-anak. Bibirnya berkulum senyum, namun mata selalu mengeluarkan air mata (ndrejes). Ia menggunakan kain sarung bermotif kawung, memakai sabuk tampar, seperti layaknya pakaian yang digunakan oleh kebanyakan abdi. Namun bukankah ia adalah Batara Ismaya atau Batara Semar, seorang Dewa anak Sang Hyang Wisesa, pencipta alam semesta.

Dengan penggambaran bentuk yang demikian, dimaksudkan bahwa Semar selain sosok yang sarat misteri, ia juga merupakan simbol kesempurnaan hidup. Di dalam Semar tersimpan karakter wanita, karakter laki-laki, karakter anak-anak, karakter orang dewasa atau orang tua, ekspresi gembira dan ekspresi sedih bercampur menjadi satu. Kesempurnaan tokoh Semar semakin lengkap, ditambah dengan jimat Mustika Manik Astagina pemberian Sang Hyang Wasesa, yang disimpan di kuncungnya. Jimat tersebut mempunyai delapan daya yaitu; terhindar dari lapar, ngantuk, asmara, sedih, capek, sakit, panas dan dingin. Delapan macam kasiat Mustika Manik Astagina tersebut dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa, walaupun Semar hidup di alam kodrat, ia berada di atas kodrat. Ia adalah simbol misteri kehidupan, dan sekaligus kehidupan itu sendiri.

Jika dipahami bahwa hidup merupakan anugerah dari Sang Maha Hidup, maka Semar merupakan anugerah Sang Maha Hidup yang hidup dalam kehidupan nyata. Tokoh yang diikuti Semar adalah gambaran riil, bahwa sang tokoh tersebut senantiasa menjaga, mencintai dan menghidupi hidup itu sendiri, hidup yang berasal dari Sang Maha Hidup. Jika hidup itu dijaga, dipelihara dan dicintai maka hipup tersebut akan berkembang mencapai puncak dan menyatu kepada Sang Sumber Hidup, manunggaling kawula lan Gusti. Pada upaya bersatunya antara kawula dan Gusti inilah, Semar menjadi penting. Karena berdasarkan makna yang disimbolkan dan terkandung dalam tokoh Semar, maka hanya melalui Semar, bersama Semar dan di dalam Semar, orang akan mampu mengembangkan hidupnya hingga mencapai kesempurnaan dan menyatu dengan Tuhannya.

Selain sebagai simbol sebuah proses kehidupan yang akhirnya dapat membawa kehidupan seseorang kembali dan bersatu kepada Sang Sumber Hidup, Semar menjadi tanda sebuah rahmat Illahi (wahyu) kepada titahnya, Ini disimbolkan dengan kepanjangan nama dari Semar, yaitu Badranaya. Badra artinya Rembulan, atau keberuntungan yang baik sekali. Sedangkan Naya adalah perilaku kebijaksanaan. Semar Badranaya mengandung makna, di dalam perilaku kebijaksanaan, tersimpan sebuah keberuntungan yang baik sekali, bagai orang kejatuhan rembulan atau mendapatkan wahyu.

Dalam lakon wayang, yang bercerita tentang Wahyu, tokoh Semar Badranaya menjadi rebutan para raja, karena dapat dipastikan, bahwa dengan memiliki Semar Badranaya maka wahyu akan berada dipihaknya.

Menjadi menarik bahwa ada dua sudut pandang yang berbeda, ketika para satria raja maupun pendeta memperebutkan Semar Badranaya dalam usahanya mendapatkan wahyu. Sudut pandang pertama, mendudukkan Semar Badranaya sebagai sarana phisik untuk sebuah target. Mereka meyakini bahwa dengan memboyong Semar, wahyu akan mengikutnya sehingga dengan sendirinya sang wahyu didapatkan. Sudut pandang ini kebanyakan dilakukan oleh kelompok Kurawa atau tokoh-tokoh dari sabrang, atau juga tokoh lain yang hanya menginkan jalan pintas, mencari enaknya sendiri. Yang penting mendapatkan wahyu, tanpa harus menjalani laku yang rumit dan berat.

Sudut pandang ke dua adalah mereka yang mendudukan Semar Badranaya sebagai sarana batin untuk sebuah proses. Konsekwensinya bahwa mereka mau membuka hati agar Semar Badranaya masuk, tinggal dan menyertai kehidupannya, sehingga dapat berproses bersama meraih Wahyu. Penganut pandangan ini adalah kelompok dari keturunan Saptaarga. Dari ke dua sudut pandang itulah dibangun konflik, dalam usahanya memperebutkan turunnya wahyu. Dan tentu saja berakhir dengan kemenangan kelompok Saptaarga.

Mengapa wahyu selalu jatuh kepada keturunan Saptaarga? Karena keturunan Saptaarga selalu mengajarkan perilaku kebijaksannan, semenjak Resi Manumanasa hingga sampai Harjuna. Di kalangan Saptaarga ada warisan tradisi sepiritual yang kuat dan konsisten dalam hidupnya. Tradisi tersebut antara lain; sikap rendah hati, suka menolong sesama, tidak serakah, melakukan tapa, mengurangi makan dan tidur dan laku lainnya. Karena tradisi-tradisi itulah, maka keturunan Saptaarga kuat diemong oleh Semar Badranaya.

Masuknya Semar Badranaya dalam setiap kehidupan, menggambarkan masuknya Sang Penyelenggara Illahi di dalam hidup itu sendiri. Maka sudah sepantasnya, anugerah Ilahi yang berujud wahyu akan bersemayam di dalamnya. Karena apa yang tersembunyi di balik tokoh Semar adalah Wahyu. Wahyu yang disembunyikan bagi orang tamak dan dibuka bagi orang yang hatinya merunduk dan melakukan perilaku kebijaksanaan. Seperti yang dilakukan keturunan Saptaarga.

Perwujudan Semar dalam Wayang Golek Sunda:


Bocah Bajang dan Semar

Bocah Bajang nggiring angin

anawu banyu segara

ngon-ingone kebo dhungkul

sa sisih sapi gumarang

Teks empat baris yang menggambarkan Bocah Bajang (anak yang tidak bisa besar atau cacat) tersebut merupakan salah satu Jineman atau lagu yang selalu dikumandangkan pada pegelaran Wayang Purwa, khusus untuk mengiringi munculnya tokoh Semar pada waktu goro-goro. Hal tersebut tidak secara kebetulan, tetapi merupakan sebuah ekspresi kreatif untuk menyampaikan sesuatu makna yang dianggap penting, melalui lagu Bocah Bajang dan wayang Semar.

Semar dan Dewa Ruci, keduanya merupakan gambaran Kesempurnaan yang tinggal dan hidup dalam manusia yang lemah dan cacat.

Tokoh Semar mempunyai sifat pribadi yang mendua. Ia adalah dewa bernama Batara Ismaya, yang manitis (tinggal dan hidup) pada seorang manusia cebol, berkulit hitam, bernama Ki Semarasanta. Bentuk wayangnya pun dibuat mendua: bagian kepala adalah laki-laki, tetapi payudara dan pantatnya adalah perempuan. Rambutnya dipotong kuncung seperti anak-anak, tetapi sudah memutih seperti orang tua. Bibirnya tersenyum menggambarkan kegembiraan dan kebahagiaan, tetapi matanya selalu basah seperti sedang menangis sedih. Oleh karena serba misteri, tokoh Semar dapat dianggap dewa, dapat pula dianggap manusia. Ya laki-laki, ya perempuan, ya orang tua dan sekaligus kanak-kanak, sedang bersedih tetapi dalam waktu yang sama juga sedang bergembira. Maka tokoh ini diberi nama Semar asal kata samar, yang berarti tidak jelas.

Sebuah dugaan, tokoh Semar dalam Pewayangan merupakan perwujudan dari kerinduan manusia dalam pengembaraannya menyelami yang Ilahi. Dikarenakan Hyang Maha Sempurna itu tidak kelihatan, tidak bisa diraba, jauh tak terbatas, dekat tidak bersentuhan, maka sulitlah untuk menggambarkannya. Oleh karena kekurangannya, kelemahannya dan cacat-cacatnya, manusia hanya dapat menggambarkan ketidakmampuannya menggambarkan yang Ilahi. Maka yang muncul kemudian adalah bentuk yang tidak sempurna. Lahirnya karya yang disengaja tidak sempurnya seperti wayang Ki Semarasanta atau Semar, merupakan sebuah konsep kerendahan hati, penyadaran diri dan keterbukaan pribadi akan kelemahannya, kekurangannya, cacat-cacatnya. Karena dengan sikap tersebut manusia diyakini mampu nglenggahake (menghadirkan dan mendudukkan) yang Maha Sempurna.

Selain tokoh Semar atau Ki Semarasanta, manusia cebol berkulit hitam yang dimaksudkan untuk nglenggahake kesempurnaan yaitu Bathara Ismaya, di pewayangan juga ada tokoh lain yang dibuat bajang, kerdil, untuk tujuan yang sama yaitu: Sang Hyang Pada Wenang dan Dewa Ruci.

Untuk menandaskan munculnya tokoh Semar atau Ki Semarasanta, manusia cacat yang berpribadi mendua, diiringi dengan lagu Bocah Bajang sedang membawa binatang piaraan yang mempunyai sifat mendua pula. Yaitu Seekor Kerbau, binatang yang bodoh dan tumpul otaknya, menggambarkan kelemahan manusia. Dan seekor Sapi Gumarang, binatang yang cerdas dan mempunyai tanduk sangat tajam, menggambarkan ketajaman manusia akan misteri Ilahi.

Dari paparan tersebut tokoh Semar yang diekspresikan ke dalam bentuk wayang dan tokoh Bocah Bajang yang di ekspresikan ke dalam lagu jineman, mempunyai inti makna yang sama. Ke duanya memberikan gambaran bahwa dalam diri manusia yang serba kekurangan, lemah dan cacat bertahtalah Yang Maha Sempurna.

Dalam usahanya mengharmoniskan antara sifat yang serba kurang, lemah dan cacat di satu sisi dan sifat yang serba sempurna di sisi yang lain, manusia membutuhkan perjuangan panjang, sepanjang umur manusia itu sendiri. Seperti Bocah Bajang nggiring angin dan nawu segara.

Semar, Gareng, Petruk, Bagong

Dalam perkembangan selanjutnya, hadirnya Semar sebagai pamomong keturunan Saptaarga tidak sendirian. Ia ditemani oleh tiga anaknya, yaitu; Gareng, Petruk, Bagong. Ke empat abdi tersebut dinamakan Panakawan. Dapat disaksikan, hampir pada setiap pegelaran wayang kulit purwa, akan muncul seorang ksatria keturunan Saptaarga diikuti oleh Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Cerita apa pun yang dipagelarkan, ke lima tokoh ini menduduki posisi penting. Kisah Mereka diawali mulai dari sebuah pertapaan Saptaarga atau pertapaan lainnya. Setelah mendapat berbagai macam ilmu dan nasihat-nasihat dari Sang Begawan, mereka turun gunung untuk mengamalkan ilmu yang telah diperoleh, dengan melakukan tapa ngrame. (menolong tanpa pamrih).

Tidak sedikit tulisan dan pendapat yang menguraikan tokoh panakawan. Diantaranya adalah bahwa tokoh panakawan adalah Dewa atau penguasa semesta alam yang ngejawantah menjadi manusia miskin untuk bekerjasama dan membantu usaha manusia agar dapat mencapai cita-cita luhur. Ada juga yang berpendapat bahwa kemunculan tokoh panakawan ini bersamaan dengan suatu gerakan kalangan bawah yang ingin menunjukan kekuatan rakyat yang sesunguhnya. Raja dan para bangsawan (ksatria) yang berkuasa, tidak akan pernah berhasil mengantar negerinya kearah kemakmuran dan kesejahteraan jika tidak didukung dan di emong oleh rakyat. Seperti yang digambarkan dalam cerita wayang bahwa yang berhasil dan menang dalam sebuah pergulatan mendapatkan ‘wahyu’ adalah tokoh yang senantiasa diikuti oleh panakawan.
sumber

dalam pencarian gw juga "nemu" suatu rajah bertuliskan Aksara Jawa dengan bentuk Semar:

Gambar kaligrafi jawa tersebut bermakna :
Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan Mardika artinya “merdekanya jiwa dan sukma”, maksudnya dalam keadaan tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa. Manusia jawa yang sejati dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna durka murkamu) artinya : “dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup”.


masih dari artikel yang sama juga dijelaskan tentang sejarah "kelahiran" Semar:

Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439.
Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.
Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.
. sumber

yang bikin gw kagum sama tokoh semar ternyata gak cuman dari segi penggambaran bentuk badannya yang penuh makna filosofis tapi juga kain atau jarik yang dipakaipun penuh makna. Adalah kain Parangkusumorodjo atau sama dengan memayuhayuning bawono yang berarti perlambang keadilan dan kebenaran di muka bumi (lihat post gw: Batik Tulis Keraton, A-Z!!!).

Dari sini baru tau gw kalo ternyata Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Islam di tanah Jawa.

Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual. Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa.

Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas ,dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa. sumber

Semar adalah tokoh utama panakawan (oleh: Ki Ageng Mangir.)
arti dari panakawan adalah pana yang berarti bijaksana dan kawan berarti teman jadi artinya adalah teman yang bijaksana - bersama-sama ketiga anaknya yang bernama Gareng, Petruk, dan Bagong, secara umum dalam pewayangan digambarkan sebagai berikut :

1. Semar selalu muncul pada tengah malam pada pagelaran "wayang purwo / kulit" semalam suntuk yaitu setelah episode yang dinamakan "goro-goro" yang dalam "goro-goro" diceritakan terjadi banyaknya kekacauan dimuka bumi ini yang secara simbolik kemunculan Semar dan punokawan meredakan kekacauan tersebut.

2. Pada saat pemunculannya Semar sang Dalang akan bercerita bahwa: "Semar punika saking basa "samar", mapan pranyoto Kyai Lurah Semar punika wujudira samar. Yen den wastani jalu wandanira kadi wanita.Yen sinebat estri, dadapuranira teka pria. Pramila katah ingkang klentu mastani. Yen ta wonten ingkang hatanya menggahing sasipatanira hirung sunti mrakateni, mripat mrembes mrakateni, lan sak panunggalnipun sedaya sarwa mrakateni" yang terjemahan bebasnya dalam bahasa Indonesia adalah: "Semar berasal dari kata samar. Memang sesungguhnya wujud dari Kyai Lurah Semar juga samar. Kalau dikatakan laki-laki wajahnya mirip wanita. Kalau disebut wanita perawakannya seperti laki-laki. Oleh karena itu banyak orang keliru menilai. Jika ada yang mencoba memerinci anggota badannya akan melihat hidungnya mancung seperti wanita yang mempesonakan, matanya yang basah juga mempesonakan, dan yang lain-lain-nya juga serba menarik perhatian".

3. Semar dan panakawan lainnya bukan berasal dari epic Ramayana dan Mahabharata sehingga banyak pakar yang menyimpulkan bahwa tokoh tersebut asli Jawa / asli Indonesia yang sudah ada sebelum agama Hindu dan Budha datang ke Indonesia.

4. Diceritakan asal usul Semar adalah dari telor yang :
a. Kulitnya menjadi Togog yang menjadi simbol hidup laksana kulit tanpa isi yang mementingkan duniawi semata oleh karena itu ia mengabdi pada raksasa sebagai simbul angkaramurka.
b. Putihnya menjadi Semar yang menjadi simbol hidup yang penuh kesucian yang mementingkan isi dari pada kulitnya. Ia selalu memihak kepada kebenaran dan keadilan dan meluruskan segala bentuk penyelewengan oleh karena itu ia mengabdi kepada raja dan ksatria utama.
c. Kuningnya menjadi Manikmaya yang mencerminkan kekuasaan karena itu ia dinobatkan menjadi rajanya dewa di Kahyangan "Junggring Salaka" sebagai Bhatara Guru.

Biarpun Semar itu manusia atau rakyat biasa yang menjadi panakawan para raja dan ksatria, tapi dia memiliki kesaktian yang melebihi Bhatara Guru yang rajanya para Dewa. Semar selalu bisa mengatasi kesaktian dari Bhatara Guru apabila ingin mengganggu Pendawa Lima yang dalam asuhannya.

Banyak arti simbolik dalam masalah ini yang penulis percayai mungkin mendekati kebenaran adalah :

Bhatara Guru dalam agama Hindu adalah Dewa Shiva yang dipuja oleh pemeluk agama Hindu, sedangkan Semar adalah tokoh asli Jawa / asli Indonesia yang mungkin juga dipuja saat sebelum kedatangan agama Hindu. Secara simbolik bisa diartikan bahwa existensi dari budaya atau nilai2 luhur dari Jawa kuno selalu akan bisa mengatasi dari pengaruh Hindu dan secara simbolik selalu memenangkan tokoh Semar terhadap tokoh2 dewa Hindu. Dan hanya dengan menerima tokoh Semar agama Hindu bisa berkembang di Indonesia.

Hal ini sekali lagi dibuktikan dengan apa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga yang menggunakan senjata Puntadewa jamus "Kalimasada" sebagai transisi dari Hindu menjadi Islam yaitu dengan menimbulkan kisah hutan Ketangga yang mengisahkan pertemuannya dengan Puntadewa dan meng-Islamkan dengan menjabarkan jamus Kalimasada sebagai Kalimat Sahadat. Dan peng-Islaman masayarakat Jawa tidak melepas sama sekali tokoh yang sudah ada dari zaman sebelum Hindu dari sekarang seperti Semar yang perilakunya dijadikan teladan ataupun panutan masyarakat Jawa. Dan disadari oleh Sunan Kalijaga bahwa Islam hanya akan bisa diterima oleh masyarakat Jawa apabila kesenangan orang Jawa akan "wayang purwo / kulit" tidak diganggu yang sebetulnya kesenangan orang Jawa kepada "wayang kulit / purwo" bukan sekedar sebagai tontonon tapi suatu upaya pelestarian dari petuah atau etika atau budaya Jawa yang berumur sangat tua yang masih hidup sampai sekarang oleh karena itu wajah Islam di Jawa atau mungkin juga di Indonesia mempunyai ciri budaya yang berbeda dengan Islam di Saudi Arabia tanpa mengurangi makna Islam yang mendasar.

5. Dengan berjalannya waktu tokoh Semar dan panakawan diterjemahkan sebagai simbol kesederhanaan dari rakyat jelata, dikarenakan kehidupannya sebagai Lurah / Kepala Desa yaitu suatu jabatan kepemimpinan yang paling dasar/bawah dalam sistim pemerintahan yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat pedesaan pada masa lalu, tokoh Semar selalu berada diantara rakyat kecil dan kesederhanaannya telah membawa kepada sifat kearifan dan kesucian pandangan yang bisa memberikan pandangan yang lebih murni tanpa bias terhadap suatu permasalahan

sehingga bisa menangkap kebenaran seperti apa adanya. Oleh karena itu diceritakan dalam "wayang purwo/kulit" Semar selalu bisa mengatasi permasalahan yang tidak mampu diatasi oleh asuhannya Pendawa Lima ataupun para raja dan ksatria lainnya.

Contoh-contoh diatas adalah memberikan suatu gambaran bahwa tokoh Semar merupakan tokoh yang paling banyak mendapat sorotan interpretasi simbolik dikarenakan keunikan, kesamaran dan

ketidakjelasannya dan yang lebih lagi karena sebagai tokoh yang asli Jawa / asli Indonesia yang oleh cendikiawan ataupun budayawan Jawa dimasa lalu disisipkan dalam epic Ramayana dan Mahabharata dalam cerita "wayang purwo / kulit" tanpa harus merusak kisah kepahlawan yang ingin ditonjolkan bahkan malahan memperkaya nuansa etika yang lebih mendalam. Contoh-contoh diatas belum lagi membahas intepretasi tokoh Semar yang bersifat mistik yang penulis tidak akan bahas disini.

Semar dengan senjata ampuhnya "Kentut"

Diceritakan dalam pewayangan bahwa Semar mempunyai senjata yang sangat ampuh yaitu berupa "Kentut" dan hal ini yang penulis ingin bahas kandungan simbolik yang semata-mata adalah menurut keterbatasan pandangan penulis sendiri. Sebagai suatu kisah kepahlawanan "wayang purwo/kulit" tidak lepas dari kisah kesaktian senjata dari para pahlawannya untuk bisa memenangkan peperangan, seperti Arjuna dengan senjata panahnya Pasopati, Bima dengan kuku Pancanaka, Sri Kresna dengan Cakra dan sebagainya. Bahkan dalam pewayangan juga dimasukkan unsur keris yang nyata-nyata bukan senjata dari Hindia tapi asli dari Jawa. Tradisi memuja senjata ini berlanjut pada budaya/sejarah Jawa dengan pada masa-masa kejayaan kerajaan Hindu dan Islam seperti Ken Arok dengan keris Empu Gandring, Raja Balambangan dengan gada Besi Kuning, Panembahan Senopati dengan tombak Kyai Plered, dsb. Senjata sebagai alat memenangkan peperangan akan tetap penting artinya bahkan sampai pada masa kekinian seperti bagaimana Sekutu menggunakan senjata nuklir untuk memenangkan peperangan melawan Jepang. Juga dengan terjadinya perlombaan kecanggihan persenjataan pada masa perang dingin antara Rusia dan Amerika pada masa beberapa tahun yang lalu. Apabila senjata itu kita terjemahkan sebagai tools atau peralatan untuk memenangkan suatu peperangan ataupun persaingan, pengembangan peralatan ini tidak hanya terbatas kepada sesuatu yang bersifat phisik peralatan peperangan militer tapi juga menyangkut peralatan atau sumber daya (resources) untuk memenangkan persaingan dibidang bisnis dan politik. Sedangkan peralatannya atau tools bisa bervariasi dari penguasaan informasi, sistim, strategi, prosedur/peraturan, sumber daya manusia yang berkwalitas dsb.

Yang memerlukan kajian lebih lanjut kenapa Semar mempunyai senjata "Kentut" dan bukan senjata yang bersifat phisik seperti panah, pedang, tombak ataupun sejenisnya.

Beberapa sifat senjata "Kentut" nya Semar:


1. Kentut berasal dari dalam diri Semar sendiri, jadi senjata ini sifatnya adalah kekuatan yang muncul dari pribadi Semar bukan alat yang diciptakan atau dibuat.
2. Semar menggunakan senjatanya bukan untuk mematikan tapi lebih untuk menyadarkan. Dalam beberapa lakon/cerita pewayangan Semar menggunakan senjata "Kentut" nya melawan resi/raja/ksatria yang tidak bisa dikalahkan oleh Pandawa Lima yang akhirnya "badar" atau sadar
3. kembali pada perwujudannya yang semula, yang biasanya adalah Bhatara Guru, Bhetari Durga dsb.
4. Semar akan menggunakan senjata "Kentut" nya apabila para raja / ksatria asuhannya tidak bisa mengatasi masalah dengan cara yang konvensional / menggunakan senjata biasa.

Sebagai makna simbolik "Kentut" itu sendiri mempunyai sifat-sifat:
1. Selalu mempunyai nuansa bersuara dan berbau.
2. Biasanya baunya busuk atau tidak enak.
3. Jadi "Kentut" itu juga bisa berati suara yang berbau atau bernuansa kurang enak didengar maupun dirasakan.
Jadi kalau kita kombinasikan dengan dengan simbolik Semar sebagai suara "rakyat" kecil yang bercirikan kesederhanaan yang membawa kepada sifat kearifan dan kesucian pandangan yang bisa memberikan pandangan yang lebih murni tanpa bias terhadap suatu permasalahan sehingga
bisa menangkap kebenaran seperti apa adanya.
Maka senjata "Kentut" nya Semar adalah bisa punya arti simbolik suara "rakyat" yang menyuarakan kebenaran yang sifatnya memberikan kesadaran kepada para pimpinannya agar kembali pada jalan yang benar sehingga suaranya bagi sang pimpinan adalah suara-suara yang tajam dan tidak enak didengar dan kalau dirasakan sangat bau busuk karena keterus terangannya melaksanakan kritik yang cenderung untuk menyakitkan kalau dirasakan bagi sang pemimpin. Dan kenyataannya apabila rakyat sudah mengutarakan isi hatinya, apalagi kalau menyampaikan kemarahannya akan lebih dahsyat seperti laiknya "Kentut" Kyai Lurah Semar yang mau tidak mau pemimpin harus sadar untuk memperbaiki diri (atau kepemimpinannya sebetulnya tidak diakui oleh mayoritas rakyat dan rakyat mengakuinya semata-mata berdasarkan rasa takut).
Dalam kondisi kekinian, suara rakyat yang murni tidak terdengar dalam tata masyarakat Indonesai dikarenakan ada hambatan2 dalam penyampaiannya atau tidak ada kebebasan dalam menyuarakan pendapatnya/keinginannya (termasuk didalamya kemandulan media masa, lembaga perwakilan rakyat untuk dijadikan sarana rakyat menyatakan pendapatnya yang mungkin saja tidak sejalan dengan pendapat yang sedang berkuasa).
Sebagai akibatnya para pimpinan negara hanya mendengarkan suara-suara yang merdu dan enak didengar saja yang mungkin jauh dari kenyataan yang ada. Oleh karena itu "rakyat" mencari jalannya sendiri untuk menyuarakan hati nuraninya.

Kalau kita membaca Internet - seperti Indonesia-L - barangkali ini lambang "Kentut" nya Semar dengan segala suara yang tidak enak didengar ditelinga oleh para pimpinan Negara kita (kalau mereka baca Internet - mengingat accesnya yang masih terbatas di Indonesia) yang mungkin lebih mendekati realitas dan suara rakyat yang sebenarnya yang menghendaki keterbukaan dan kearifan para pimpinan Negara untuk menerima saran dan kritik agar melakukan perbaikan dan "badar" atau sadar kembali untuk menuju cita-cita masyarakat Indonesia yang adil makmur bagi semua rakyat (bukan buat sebahagian kecil rakyat yang dengan kedekatannya dengan kekuasaan mendapat kesempatan yang lebih dari yang lain)


Kesimpulan

1. Senjata "Kentut" nya Semar adalah secara simbolik bisa diartikan senjata pamungkasnya "rakyat" untuk menyadarkan pemimpinnya agar kembali kepada jalan yang benar yaitu etika berbudi luhur yang harus dipegang teguh.

2. Mencapai tujuan yang benar haruslah dengan cara yang benar, adalah sangat disayangkan apabila kita dipimpin oleh pimpinan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan (tanpa maksud untuk mengurangi nilai keberhasilan secara phisik yang telah dicapai selama ini).

3. Nilai-nilai luhur etika Jawa pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya selalu mengajarkan mencapai tujuan yang baik menuju Indonesia yang adil dan makmur harus dengan sekaligus mempraktekkan etika budi luhur agar terjadi Negara ideal yang "panjang-punjung", panjang berarti menjadi panutan negara lain, punjung berarti mempunyai kewibawaan yang tinggi. sumber


Referensi:
1. Ir. Sri Mulyono Djojosupadmo , Apa dan Siapa Semar, 1975,P.T. Gunung Agung
http://bharatayudha.multiply.com/

No comments:

Post a Comment