Thursday, May 6, 2010

Butuh Lebih dari Ini




"malaikat kecilku, bidadari penyelamatku, kamu..."

Sore itu hujan turun lagi waktu dihisapnya batang rokok ketiga menjelang jam pulang kantor. andai waktu bisa diputer mundur tujuh belas tahun ke belakang saat definisi "kebahagiaan" masih begitu sederhana buat dia, sesederhana tawanya yang dengan telanjang riang berlarian menyambut derasnya hujan sewaktu dia kecil dulu, meski ibunya kadang ngomel dan belom berhenti sampe suara parau lelaki tua merapalkan Adzan Magrib dari speaker masjid depan rumahnya tempat dia belajar ngaji. Emang masa itu udah jauh dan semuanya ga sama lagi, ga akan pernah terulang. Sekarang dia cuma bisa membiarkan titik-titik air memantul ke wajahnya, sementara pandangan nanarnya mencoba menangkap jeda antara ratusan, ribuan, jutaan, bahkan mungkin trilyunan tetes air yang jatuh menghujam tanah, seolah ada rindu yang ingin diisyaratkan oleh langit kepada bumi, atau mungkin janji langit yang tersirat untuk menjaga bumi biar ga merana karena panas, dia juga ga tau. ya, dia selalu suka sama hujan, entah kenapa. sampe sekarang meski dia bukan anak-anak lagi, laki-laki seutuhnya...

setengah jam berlalu dan dia tetep bergeming tanpa suara di balkon yang mendadak jadi spot favoritnya itu sendirian, mungkin ada nyaman yang terasa waktu titik kecil air terpantul ke wajahnya, ada damai yang datang menghapus resah yang melukainya dan ga seorangpun temen deketnya tau luka itu, bukan luka yang kasat mata. pun begitu ga semua luka terhapus. Ada satu luka maha-dahsyat yang setiap hari menggelitik hatinya, satu luka yang ga ada teknologi medis canggih manapun bisa menawarkannya, satu luka yang betapa teramat sangat luar biasa mengganggu sekali tapi anehnya justru dia sangat menikmati... Kita sebut aja luka ini sebagai Rindu, ya, Rindu. Rindu yang begitu liar tanpa bisa dia kendalikan dan memaksanya bilang,

"Aku sayang kamu..."

dan tentang "kamu" adalah wanita itu yang membuatnya menjadi manusia yang lebih baik, yang selalu jadi orang pertama yang menyapanya seperti hangat sinar matahari pagi, yang lebih bisa menghentikan kebiasaan-kebiasaan buruknya ketimbang suara berat dan mengintimidasi dari bapak kandungnya, yang lebih sering mengingatkan makan daripada ibunya sendiri yang bawel, wanita yang begitu keras hatinya tapi juga lembut dalam waktu bersamaan, wanita yang selalu menanyakan berulang kali tentang satu pertanyaan yang sama dan sampe sekarang dia juga ga tau jawabnya,

"kenapa kamu sayang ma aku?"

suatu hari pernah dia ga bisa tidur semaleman, seolah ada persekongkolan antara mata dan otaknya yang membuat dia tetep terjaga, juga berbatang-batang rokok. entah salah ngomong entah "bakat" kekurang-sensitifan dia. hampir selalu si wanita menggunakan bahasa yang absurd baginya daripada memilih buat berbicara dan dia malah menanggapi dengan candaan konyol kayak biasanya, alih-alih mencoba menangkap tiap isyarat halus yang tak terucapkan. mau gimana lagi, dia emang lebih suka narasi ketimbang puisi dan lagi butuh semua bantuan yang ada buat belajar bikin puisi sekarang!

"i'd rather hurt my self, bukannya ini semua tentang pengorbanan? kalo ga ada yang dikorbankan, ayam juga ga pernah berkorban kalo cuma buat kawin. i do wanna be someone to fight for you!!! stop me if you can but i dont wanna give up now, i'll keep fight..."

hujan belum mau berhenti meski ga sederas tadi, dia juga belum puas bernostalgia dengan romantisme masa anak-anaknya yang begitu sederhana, dengan rintik hujan yang memaksa dia berdamai dengan waktu, dengan angan-angan yang datang bertubi-tubi lalu pergi terbawa angin entah kemana, angin yang sama yang menggoyang dedaunan. dia beranjak pergi menerobos riuh rendah rinai hujan melepas senja awal musim, entah ke mana kakinya melangkah. mungkin pulang, atau kembali bergulat dengan gemuruh-gemuruh badai di hatinya yang mencoba mengurai isyarat-isyarat yang datang dan pergi seperti nada dan puisi yang kadang bukan cuma tulisan...

seperti embun di ujung dahan,
ada rindu yang tertahan...


...bersambung

[ditulis dengan batang terahir dan suara Roy Jeconiah nyanyi Cerita Kita, Subulussalam 6 Mei 2010]

No comments:

Post a Comment