| Istilah homeschooling (HS) belum lama beredar di Indonesia. Maka, HS pun belum begitu populer, meski sudah banyak orang yang menekuninya. Sebut saja misalnya Dewi Hughes yang mendirikan Asosiasi Homeschooling dan pendidikan Alternatif (Asah Pena). Dengan pengawasan dan standar yang jelas, hasilnya bisa setara dengan sekolah formal bahkan lebih.
Karena pamornya yang belum begitu populer, banyak yang salah duga dengan HS. Anggapan yang muncul adalah HS sekedar mengikuti pendidikan di rumah. Padahal, kenyataannya tidak demikian."Pengertiannya bukan hanya schooling at home tapi sekolah yang hommy, dimana suasananya seperti rumah yang penuh kasih sayang, penuh dengan perhatian individual dan komunikasi yang efektif antara anak dan sumber belajar dalam hal ini termasuk orang tua," kata DR. Seto Mulyadi, Psi, M.Si psikolog anak yang juga Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia.
DR. Seto Mulyadi, Psi, M.Si menambahkan, lokasi belajar HS bisa dimana saja, kapan saja, tetapi tetap mengacu pada standar pendidikan dan kompetensi kelulusan yang ditetapkan pemerintah.
Ada 5 aspek yang menjadi target HS, yakni Etika, Estetika, Ilmu pengetahuan dan Teknologi, Kewarganegaraan, dan Olah raga atau kesehatan. "Jadi kompentensinya disesuaikan. Mau belajar sambil duduk, berenang, bermain dan lainnya tidak masalah." ujar Kak Seto-panggilan akrab DR. Seto Mulyadi, Psi, M.Si - yang keempat anaknya juga mengikuti Home Schooling.
UNTUNG RUGINYA HOME SCHOOLING
DR. Seto Mulyadi, Psi, M.Si mencatat kelemahan HS tunggal, terus menerus berada di rumah dan kurang sosialisasi, bisa membuat perkembangan psikososial anak berkurang. Kekurangan lainnya tidak ada tantangan. Karena itu, ketika memasuki HS Komunitas, ketiadaan tantangan itu dieliminasi. Anak bisa punya teman, bisa bermain bersama, bersosialisasi, dan tetap ada kompetisi.
Kelebihannya, Anak yang mengikuti HS akan mendapat perhatian yang sifatnya individual, diikuti dengan gaya belajar yang sesuai dengan si anak, jauh dari bullying dan pengaruh negatif, seperti narkoba. HS juga cocok untuk anak yang berkebutuhan khusus dan luar biasa.
Selain itu, kalau kompetensi sudah tercapai, anak bisa mengembangkan potensi diri. Maka, banyak penyanyi, pemain sinetron, dan atlet yang mengikuti HS.
Pada intinya, HS mengembalikan tanggung jawab pendidikan kepada orangtua."Terkadang orangtua menganggap sudah bayar mahal, semua menjadi urusan sekolah. Kalau ada apa-apa, sekolah yang disalahkan. HS tidak demikian Orangtua yang mengambil alih kembali tanggung jawab itu dan kelima unsur tadi bukan hanya pengetahuan kognitif saja melainkan mengamati dan menjalankan,"jelas Kak Seto
Undang-undang sudah menjamin dan mengakui kesetaraan HS dengan sekolah formal jika kompetensinya tercapai. "Sebenarnya HS bukan sekedar trend. Semuanya kembali kepada keadaan dan kemampuan orangtua untuk mengelola. Kalau memang tidak memungkinkan, ya tetaplah sekolah formal,"tegas Kak Seto
Jika masih ragu, orangtua bisa memadukan konsep sekolah dengan HS, yang diikuti dengan cara yang fleksibel."Belajar adalah hak bukan kewajiban. Karena semua anak senang belajar, tapi gaya belajar yang berbeda harus diakui dan di hargai dengan memberikan pilihan untuk menempuh jalur pendidikan formal dan informal dengan alasan geografis, ekonomis dan psikologis tadi."ujar Kak Seto |
No comments:
Post a Comment