Wednesday, February 3, 2010

PEMBEDAAN SECARA SPESIFIK WAYANG YOGYAKARTA DAN SURAKARTA (I)

KRONOLOGI PEMBEDAAN WAYANG KULIT DI JAWA TENGAH

Pada mulanya, hanya ada satu jenis wayang di Jawa. Wayang tersebut berasal dari relief candi-candi yang ada di wilayah Jawa yang saat itu masih dikuasai oleh Kerajaan Majapahit. Saat itu tokoh-tokh pewayangan di gambar di atas daun tal atau daun lontar sehingga di kenal dengan nama wayang lontar.

Wayang lontar dan Wayang kulit awal Demak
Setelah Majapahit runtuh pada tahun 1478, berdirilah kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa, dengan Raden Patah sebagai raja pertamanya dari tahun 1478-1520 mencipta wayang kulit dengan tangan masih menyatu dengan tubuhnya. Raden Patah kemudian digantikan oleh Prabu Sabrangan yang memerintah dari tahun 1520-1521. Prabu Sabrangan yang gemar dengan pertunjukan wayang lalu menciptakan wayang beber yang semua gambarnya telah diubah ke dalam gaya Islam karena saat itu Islam melarang pengikutnya melukis manusia secara realistik. Hal tersebut dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam. Sedang pola candi yang ada di Jawa di teruskan dalam pola wayang kulit di Bali.

Setelah masa kejayaan wayang Beber lewat, munculah sosok-sosok Wali Songo yang secara giat menyebarakan ajaran Agama Islam. Sunan Kalijaga lalu mencipta wayang dari kulit kerbau yang ditatah dengan menggunakan gapit sebagai pegangan. Namun tangannya masih menyatu dengan tubuh. Wayang tersebut dibuat menjadi satu kotak dan diwarna hanya dengan warna hitam. Jumlah wayang di buat cukup untuk menyampaikan cerita-cerita Mahabarata dan Ramayana yang sudah di sesuaikan kedalam ajaran Islam selama semalam suntuk.

Wayang Beber


Pada tahun 1521, jumlah wayang diperbanyak dengan adanya wayang-wayang ricikan seperti gunungan dan binatang serta adanya perubahan dengan tangan yang sudah dapat digerakkan. Pertunjukan pun mulai menggunakan kelir, debog, dan blencong. Selain itu wayang yang tadinya masih berwarna hitam puith mulai diwarnai. Dan pagelaran mulai memakai istilah simpingan.

Simpingan Kiri dan Kanan
Kerajaan Demak yang runtuh kemudian digantikan oleh kerajaan Pajang. Jaka Tingkir sebagai raja Pajang mulai memperkenalkan Wayang Kidang Kencana yang memiliki ukuran sedikit lebih kecil dari wayang kulit umumnya. Di sinilah pertama kalinya digunakan istilah ngore, topongan, gelung dan sebagainya.

Pada awal pemerintahan Kerajaan Mataram, Panembahan Senopati menambahkan wayang Garuda dan Gajah untuk pelengkap pertunjukan. Saat ini pula lah rambut mulai ditatah halus. Wayang inilah yang sekarang dikenal sebagai wayang gagrak/gaya Mataraman.

Pada masa pemerintahan Mas Jolang, wayang kembali diperbesar. Dengan mulai menggunakan istilah wanda pada wayang-wayang tertentu.

Setelah jaman pemerintahan Sultan Agung, tepatnya zaman pemerintahan Amangkurat Tegal Arum, pakem pedalangan kemudian pecah menjadi dua. Yaitu Gaya Kanoman oleh Nyi Anjang Mas dengan penggunaan sepatu, jubah, dan keris pada wayang dewa dan pendeta yang beroperasi di wilayah timur. Gaya yang satu lagi adalah gaya Kasepuhan oleh Kyai Panjang Mas. Gaya pedalangan ini menghilangkan Bagong karena mendapat larangan dari pemerintah Belanda. Bagong dianggap sebagai orang yang lancang mulut dan sering mengkritik pemerintahan Belanda di Jawa.

Pada pemerintahan Pakubuwono III pusat pemerintahan Mataram dipindah dari Kartasura ke Surakarta. Ini adalah masa peralihan dari gaya Mataraman ke jaman Surakartan. Perubahan ini terlihat dengan diubahnya bentuk kera dan raksasa sehingga hanya bermata satu. Selain itu wayang gaya Surakarta juga di peramping sehingga memudahkan dalang dalam melakukan sabet atau olah wayang.


Anoman Gaya Surakarta & Yogyakarta /Mangkunegaran

Pada masa pemerintahan Pakubuwono IV, terjadi perselisihan antara golongan tua dan muda. Golongan tua yang dikepalai oleh Pangeran Mangkubumi menyatakan perselisihannya terhadap Pakubuwono IV yang mau bekerjasama dan mengakui kedaulan pemerintahan Belanda atas kerajaan Mataram. Akibat dari perjanjian Giyanti, Mataram di pecah menjadi dua yaitu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta. Pangeran Mangkubumi lalu menjadi Sri Sultan Hamengkubuwono I. Sebagai golongan tua, kemudian Mangkubumi mengembangkan wayang gaya Mataraman sedangkan Pakubuwono IV mengembangkan wayang gaya Surakarta atau sekarang lebih tenar dengan nama wayang gaya Solo. Lebih lanjut, Kasunanan Surakarta yang kemudian pecah lagi menjadi Kasunanan Solo dan Mangkunegaran. Oleh Mangkunegara I, wayang gaya Solo lalu di perbesar. Pada wayang gaya Yogyakarta pun lalu terjadi perubahan dengan adanya gaya baru yaitu wayang Paku Alaman yang masih mempertahankan bentuk gaya Mataram namun kebanyakan wayangnya menggunakan keris.

PENDAHULUAN

Pagelaran Wayang Kulit adegan Jejer Pandawa

Setelah Wayang mendapat penghargaan sebagai warisan budaya dunia dari UNESCO, rasanya sangat penting bagi kita untuk terus melestarikan wayang yang ada. Banyaknya jenis wayang yang telah punah seperti wayang Banjar, dan wayang Palembang membawa keprihatinan di dalam diri pencinta wayang sendiri yang semakin lama semakin menurun.

Di dalam buku ini sendiri saya hanya akan membahas perbedaan yang ada dalam boneka wayang dari Surakarta dan Yogyakarta yang jarang sekali diperhatikan perbedaannya.
Tentu saja masih banyak perbedaan yang dapat kita temukan dalam dunia pewayangan yang dapat dibahas lebih lanjut. Namun di sini saya hanya akan membahas tentang perbedaan fisik wayang dari kedua daerah tersebut, bukan gaya pedalangannya. Meskipun buku ini masih sangat dangkal jika kita melihat secara keseluruhan dunia pewayangan karena banyaknya wayang wayang yang masih eksis dalam kehidupan seperti wayang menak, wayang golek, wayang gedok dan lain-lain, namun diharapkan dengan adanya buku ini, para pencinta wayang sadar akan beraneka ragamnya kebudayaan yang kita miliki dan diharapkan pula buku ini menjadi tumpuan unuk penulisan dan pembahasan keaneka ragaman budaya wayang lainnya. Jika kita lihat, wayang kulit purwa saja dari daerah Jawa Tengah memiliki beberapa gaya.

Tujuan dari penulisan buku ini adalah sebagai sarana untuk mengembangkan pengetahuan tentang boneka wayang dan juga untuk menyadarkan bahwa kita memiliki beraneka ragam budaya yang sangat perlu untuk dilestarikan dan ini bukanlah suatu persaingan untuk menentukan mana yang unggul dan lebih baik karena dalam budaya seni tidak ada yang lebih baik ataupun lebih buruk. Kesemuanya memiliki keunikan masing-masing sehingga janganlah pembaca salah menangkap bahwa penulisan buku ini hanya semata-mata mencari pengikut gaya mana yang lebih pantas dan lebih sempurna.

sumber

No comments:

Post a Comment